Saya pertama kali mendengar istilah “ngangkat warga” saat berada di sebuah dusun kecil di kaki Gunung Rinjani, Lombok Timur. Saat itu, saya sedang mengikuti acara adat bersama seorang teman lokal. Dalam satu momen, terlihat rombongan lelaki mengenakan pakaian adat lengkap, membawa sesajen, dan berjalan khidmat menuju rumah seorang warga yang belum lama tinggal di desa tersebut.
“Dia lagi ngangkat warga,” kata teman saya sambil tersenyum. Saya mengernyit, penasaran. Apa maksudnya?
Perjalanan saya menjelajahi budaya Sasak pun dimulai dari sana. Dan semakin saya menggali, semakin saya sadar bahwa “ngangkat warga” bukan sekadar seremoni—tapi cerminan kuat dari filosofi hidup masyarakat Lombok, khususnya suku Sasak.
Tradisi yang Menyatukan: Apa Sebenarnya Makna Ngangkat Warga?
Secara sederhana, ngangkat warga adalah proses penerimaan seseorang—baik individu maupun keluarga—ke dalam struktur sosial dan adat suatu komunitas Sasak. Biasanya dilakukan ketika seseorang baru pindah ke kampung tersebut, menikah dengan warga lokal, atau ingin mengambil bagian dalam kegiatan adat dan sosial desa.
Tapi jangan bayangkan ini seperti mendaftar jadi anggota klub atau mengisi formulir RT. Di masyarakat Sasak, ngangkat warga adalah proses sakral. Ada upacara, ada simbolisme, ada doa, dan tentu saja, ada nilai kekeluargaan yang sangat dalam.
Dalam adat Sasak, seseorang belum dianggap benar-benar menjadi bagian dari komunitas sebelum melewati prosesi ini. Artinya, walaupun seseorang sudah tinggal di desa tersebut selama bertahun-tahun, jika belum pernah “diangkat warga”, maka ia belum sepenuhnya ‘masuk’ secara adat.
Mengapa Tradisi Ini Begitu Penting?
Saya bertanya langsung ke seorang tetua adat di Desa Sade, sebuah kampung adat Sasak yang cukup dikenal wisatawan. Dengan suara lembut namun tegas, ia menjelaskan:
“Hidup di Lombok itu bukan hanya tentang tinggal. Tapi tentang menjadi bagian. Lewat ngangkat warga, kita saling menerima, saling menjaga, dan saling terikat.”
Proses ini menunjukkan bahwa hidup bersama di desa bukan sekadar soal domisili, tapi tentang rasa memiliki dan dimiliki.
Bayangkan, di era sekarang yang serba digital dan individualistis, masih ada masyarakat yang menempatkan keterikatan sosial dan adat sebagai inti dari kehidupan mereka. Buat saya pribadi, itu sesuatu yang luar biasa.
Bagaimana Proses Ngangkat Warga Dilakukan?
Upacara ini biasanya dilakukan secara sederhana namun penuh makna. Beberapa tahapan yang saya saksikan antara lain:
- Persiapan Sesajen
Ada aneka kue adat, buah-buahan, sirih pinang, dan terkadang ayam kampung sebagai simbol niat dan ketulusan. - Perwakilan dari Tetua Adat dan Tokoh Masyarakat
Mereka hadir sebagai pengesah, mewakili suara komunitas. Ada yang membawa air suci, ada juga yang memimpin doa. - Pembacaan Niat dan Penerimaan
Calon warga menyampaikan niat untuk bergabung dengan tulus, lalu disambut dengan doa dan ucapan selamat. - Simbolisasi Ikatan Sosial
Biasanya dengan menaburkan beras kuning, menyentuhkan air suci di dahi, atau disematkannya kain tenun sebagai tanda telah diterima. - Makan Bersama
Tidak pernah absen. Karena di setiap perayaan Sasak, makan bersama adalah bentuk perayaan ikatan baru.
Kadang, upacara ini juga disesuaikan dengan kondisi lokal dan kebiasaan tiap desa. Ada yang lebih formal, ada yang lebih santai, tapi intinya tetap sama: penerimaan dan penyatuan.
Ngangkat Warga dan Kekuatan Komunitas
Saya melihat langsung betapa kuatnya pengaruh “ngangkat warga” dalam membentuk rasa kebersamaan. Setelah seseorang diangkat, ia akan mulai dilibatkan dalam musyawarah kampung, kegiatan gotong royong, hingga acara keagamaan dan adat lainnya.
Tradisi ini menjaga keutuhan sosial. Mencegah eksklusivitas. Menumbuhkan tanggung jawab. Karena begitu seseorang sudah jadi bagian dari komunitas, maka ia pun punya kewajiban untuk menjaga nilai-nilai yang berlaku.
Banyak wisatawan yang datang ke Lombok hanya untuk melihat pantainya yang indah. Tapi mereka yang ikut menyusuri budaya lokal lewat jalur desa, lewat interaksi langsung dengan masyarakat, akan menemukan kekayaan budaya seperti ngangkat warga yang jauh lebih berkesan dan mengubah cara pandang kita terhadap arti “masuk ke suatu tempat”.
Kalau kamu tertarik mengenal sisi lokal seperti ini, tidak ada salahnya memilih paket Lombok tour yang menawarkan kunjungan ke desa adat dan interaksi langsung dengan warga setempat.
Pengalaman Pribadi: Menyaksikan Tradisi yang Menggetarkan
Saya masih ingat suasana sore hari itu. Angin lembut, matahari mulai turun, dan suara gamelan mengalun pelan di kejauhan. Saat prosesi “ngangkat warga” berlangsung, tidak ada satu pun dari kami yang berisik. Semua larut. Tertunduk, terdiam, menghormati.
Saya yang awalnya hanya penonton, tanpa sadar ikut merasa bagian. Saya ikut tersenyum saat warga baru disambut, saya ikut makan bersama, saya ikut menyalami para tetua yang hadir.
Bukan karena saya mengerti semua maknanya, tapi karena saya merasakan energi keikhlasan dan kebersamaan yang tulus.
Nilai Budaya yang Patut Dikenalkan ke Dunia
Tradisi seperti ini seharusnya menjadi bagian penting dari pariwisata budaya. Bukan untuk dipamerkan, tapi untuk dikenalkan dengan hormat dan apresiasi. Karena dari sinilah kita bisa belajar banyak:
- Tentang keterikatan sosial yang tidak dibatasi waktu
- Tentang cara hidup yang berakar kuat pada nilai dan adat
- Tentang bagaimana menerima orang bukan hanya karena ia tinggal, tapi karena ia hadir dan berkontribusi
Buat kamu yang ingin menjelajahi Lombok bukan hanya dari sisi pantai dan pegunungan, tapi dari jiwa masyarakatnya, pengalaman seperti ini bisa jadi titik awal yang membekas.
Tradisi ngangkat warga bukan hanya warisan budaya, tapi juga pelajaran hidup.
Tentang menjadi bagian. Tentang menghargai proses. Tentang diterima, dan menerima.
Kalau kamu ingin menjelajahi sisi paling dalam dari Lombok—sisi yang jarang terekam kamera tapi terekam kuat di hati—coba buka percakapan dengan masyarakat desa, ikut dalam upacara, atau cukup duduk dan dengarkan kisah mereka. Karena kadang, petualangan terbaik bukan yang kita rencanakan, tapi yang datang dari niat untuk benar-benar terhubung.